Mengamati reaksi teman2 menghadapi gejolak harga barang pasca kenaikan TDL dan BBM.
Beberapa melakukan protes dg menulis di media sosial.
Banyak yg curhat, harga angkutan naik dari 2000 jd 3000.
Harga LPG naik (loh kan blm ada pengumuman resmi naik, Tp koq udh naik. Pasti ulah pedagang).
Harga kebutuhan pokok naik.
wah pedagang jg mau margin besar dong, secara kebutuhan pedagang jg semakin besar..
Tapi pedagang jg dihantam dengan realita, bahwa daya beli masyarakat menurun.
Yg biasa jualan kue laris, sekarang sepi. Karena untuk masyarakat menengah kebawah lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dulu.
Tadi malam, aq jalan-jalan memang Kebetulan ada yg mau dibeli.
Baru jam 8 malam, Tp jalanan udah lengang, ga macet seperti biasanya.
Waktu melewati SPBU pertamina juga antreannya ga sepanjang biasanya.
Tapi SPBU shell yg aq lihat antreannya lebih panjang dari sebelumnya.
Berarti masyarakat disekitar sini lebih memilih SHELL daripada Pertamaxnya PERTAMINA.
Sebenarnya disebelah sana ada SPBU Total, tapi aq ga lewat jd ga tau gmn situasinya.
Ya udah, mau ga mau kenaikan harga premium dan solar membuat masyarakat memilih SPBU asing yg dinilai kualitas BBMnya lebih bagus dibanding Pertamina, oke berarti itu sudah rejekinya SPBU asing yah..
Kita kembali ke reaksi bbrp teman medsos saya.. dari kalangan pegawai yg gajinya tetap walaupun biaya kebutuhan hidupnya naik..
1. Woles aja, Alhamdulillah masih diberi cukup rizky. Pemenuhan kebutuhan dan gaya hidup tercukupi.
2. Curhat sana sini. Nanya harga barang ditempatmu naik berapa? Tarif angkutan jd berapa. Protes dengan kebijakan pemerintah melalui Media sosial. Merasa zona nyamannya terusik.
3. Tenang. Menurunkan standart kebutuhan dan gaya hidup.
Yg biasanya menu selalu ayam, daging, ikan. Sekarang disubstitusi dg tahu tempe.
Dulu jalan2 rekreasi seminggu sekali sekarang sebulan sekali.
Dulu bajunya merk luar, sekarang merk lokal.
Yg penting tidak besar daripada tiang.
4. Tenang. Tidak mau menurunkan standart dan gaya hidup. Baju maunya merk luar. seminggu sekali tetap jalan2. Terjadi besar pasak daripada tiang. Nyari utang sana sini. Yg gampang kartu kredit. Karena utangnya buat konsumtif sementara pendapatan tidak bertambah akhirnya gali lubang tutup lubang.
Ati-ati lubangnya tambah besar tambah besar karena defisitnya semakin besar.
Yang paling membuat saya ga habis pikir..
ada pernyataan "beli rokok 16rb bisa, bensin naik 2ribu protes"
nah, mulai ga logis kan membandingkannya..
Kenaikan harga rokok tidak berpengaruh ke angkutan umum dan kebutuhan bahan pokok serta sektor lainnya.
Tapi klo BBM yg naik, banyak sektor yg terpengaruh. Harga bahan pokok dan tarif angkutan pasti naik.
Ada lagi yg bilang..
"bensin naik, biaya kebutuhan naik? Makanya kerja.. kerja.. kerja.."
lha kamu pikir selama ini suamiku ga kerja gitu? Tidur2an aja trus ada hujan uang..
bagaimana dengan penjual dimsum, yg sekarang seharinya laku cuma 10 porsi, bahkan pernah cuma laku 1porsi sehari.
Bagaimana dengan penjual mie ayam yg nasibnya jg sama.
Mereka tetap kerja sist/bro.. ga tidur..
ga meminta-minta..
Ada lagi yg ngomong "kredit mobil atau motor bisa, bensin naik 2ribu ribut"
mungkin waktu ambil kredit ga tau klo bensin bakal naik. Dan mungkin itu kendaraan emang penting banget.
Lah klo sdh terlanjur punya kreditan begini bensin naik gimana?
Mau ga mau harus lanjut kan?
Walaupun akhirnya itu mobil nongkrong di garasi aja, Krn memang ga kebeli bbm nya :D
Kenyataannya, diterima atau tidak diterima..
Badai sedang menerjang hatiku dan beberapa teman dan kerabat.. (tidak semua, karena ada juga yg petantang petenteng dan berkata "sudah kuduga dan gapapa toh untuk perbaikan disektor lain")
semua sdh terjadi..
Harus dihadapi..
Semoga Badai segera berlalu (ah, kangen lagunya om crisye)
"Tidak ada bahu untuk bersandar, masih ada sajadah tempat bersujud"
sholat dhuha dulu yuuuk, menentramkan hati :)