Penulis: Maratul Akhmar
Alkisah di sebuah hutan belantara yang sangat indah, hiduplah para binatang rimba yang eksotis nan memukau. Mereka hidup saling berdampingan satu dengan yang lainnya. Tersebutlah pada bulan itu, para warga rimba akan memilih raja yang akan memerintah negeri mereka selama 3 tahun lamanya, maka tak ayal ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur nan cerah, ketika para binatang pergi bekerja seraya bersenda gurau membicarakan para calon pemimpin yang akan mereka pilih pada hari pemilihan raja rimba nanti.
Tersiarlah berita bahwa pada masa itu terdapat tiga kandidat yang mencalonkan dirinya menjadi raja rimba . Adalah Singa yang sejatinya memiliki tubuh yang kokoh dan berwatak tegas, memiliki kawanan yang berjumlah banyak dan sanggup menjaga para warga rimba dari mara bahaya. Ada pula sang Penyu yang bijak bestari karena petuah – petuahnya dalam mengatasi permasalahan di kalangan masyarakat rimba, maka tak heran bahwa namanya tak kalah terkenal dari sang Singa. Kandidat terakhir adalah sang Tokek.
Sang Tokek sangat berambisi menjadi penguasa rimba ketimbang dua kandidat lainnya. Dia tergiur dengan gemerlapnya kekayaan hutan belantara yang mana sejauh mata memandang terhampar permadani hijau nan rupawan yang akan memikat hati siapa saja yang memandang. Pun dengan berbagai jenis buah serta sejuknya air yang melimpah di sepanjang sungai hutan tersebut. Maka, disusunlah segera rencana untuk memuluskan dirinya mencapai tampuk kekuasaan.
Mengetahui ia kalah pamor dari kedua saingannya, dengan segera ia merancang sebuah rencana licik. Sang Tokek pergi mengunjungi golongan minoritas. Golongan yang tak diindahkan keberadaannya oleh penguasa terdahulu. Berkumpullah rombongan hewan dari jenis Kecoak, Tikus, Kelabang, Lintah, Burung pemakan bangkai, Hyena dan sebangsanya. Dihadapan mereka, dijanjikanlah oleh sang Tokek bahwa ketika ia memimpin nanti, mereka akan mendapatkan keamanan dalam mendapatkan kebutuhan mereka. Mereka tidak perlu malu-malu untuk menimbun kotoran yang menjadi kebutuhan pangan mereka asalkan mereka mau memberikan suara pada hari pemilihan raja hutan nanti.
Sang Tokek tidak hanya memberikan perhatiannya pada golongan yang termarginalkan saja. Ia juga melebarkan pengaruhnya pada kalangan pribumi lainnya dengan membagi-bagikan kebutuhan pangan sesuai dengan kesukaan mereka, contohnya rombongan Kera yang suka pisang diberinya mereka beragam jenis pisang yang masih segar, Gajah yang suka akan kacang, dihadiahinya berpuluh-puluh kacang tanah lengkap dengan kulitnya, Burung pelikan yang suka berbasah-basahan dalam berburu ikan disiapkannya berkantong – kantong ikan segar hasil tangkapan dari sungai hutan tersebut. Tak luput pula keluarga Berang-berang, Tupai, Kambing, Luwak dan semua jenis binatang yang hidup di hutan nan kaya akan limpahan karunia Ilahi.
Mengikuti tindak tanduk manusia, maka sang Tokek pun tak urung untuk memberikan pukulan pada lawan politiknya. Siang nan cerah, dengan bantuan para Hyena dan Burung pemakan bangkai, terkumpullah daging – daging yang masih terhiasi darah segar. Daging – daging tersebut akan dihadiahkan kepada para keluarga Singa, Macan, Harimau, Cheetah dan Panther. Dalam iring-iringannya membawa berton-ton daging segar, sang Tokek membagi hadiah tersebut ke dalam jumlah yang berbeda-beda. Tatkala telah sampai di perkampungan para hewan predator tersebut, sang Tokek menyampaikan maksud kedatangannya dan memberikan hadiah dengan jumlah sangat banyak kepada keluarga Singa. Setelah itu, diberikannya beberapa karung daging kepada keluarga Macan serta beberapa Kera kepada keluarga Cheetah dan Panther. Sang tokek juga menghadiahkan hadiah tambahan berupa Kelinci hidup kepada kerabat Singa yang terkenal congkak dan sombong.
Melihat hal tersebut, timbul rasa iri dan hasud dalam hati masing-masing keluarga para predator. Segera setelah sang Tokek undur diri dari perkampungan para predator, suasana di perkampungan tersebut berubah drastis. Semua keluarga saling membandingkan hadiah yang diberikan Tokek kepada mereka.
“Lihatlah keluarga Singa itu. Daging yang diperoleh keluarga mereka sangat banyak, padahal jumlah keluarga kita lebih banyak daripada jumlah keluarga mereka,” kata sang Macan kepada keluarganya.
Mendengar perkataan sang Macan, Kerabat Singa yang congkak tak kalah menyabut “Bah... kalian iri pada keluarga kami karena kami dapat daging lebih banyak dari kalian, bukankah auman suara kami lebih Keras daripada kalian.” Ledek Singa yang congkak itu.
“Terlebih lagi...” tambahnya.
“Kalian ini hampir-hampir tidak mirip satu dengan lainnya.” Ledeknya sinis melihat corak pada tubuh masing-masing Macan yang sedang berkumpul.
Mendengar ledekan si Singa yang congkak itu, sang Macan dan keluarganya mengaum keras. Meskipun demikian, perkataan Singa congkak yang merupakan kerabat sang penguasa itu ada benarnya. Mereka tidak benar-benar bersatu. Mereka terlihat bersatu karena tunduk dalam kepemimpinan Singa saja. Melihat hal tersebut, keluarga Panther dan Cheetah yang tadinya ingin melempar kritikan, urung melakukan tindakan tersebut. Pasalnya jumlah mereka hanya sedikit, meskipun lari mereka lebih cepat dari kawanan Singa dan Macan. Sejak saat itu benih-benih perpecahan mulai nampak dikalangan adikuasa tersebut. Jika berburu mencari makanan, mereka bekerja hanya dengan kelompok mereka saja, dan itu menjadi pembicaraan hangat masyarakat hutan.
Berbeda dengan sang Singa, Tokek hampir kehilangan akal untuk menghasut warga rimba agar tak percaya pada sang Penyu. Lihatlah, sang Penyu memiliki pertahanan yang kokoh dengan batok di punggungnya hingga selalu selamat dari pembunuhan. Kalo diumpan dengan makanan, hampir-hampir tim sukses Tokek tenggelam di laut untuk mengais makanan sang Penyu, tak ayal sang Tokek dibuat pusing tujuh keliling menghadapi si Penyu yang ternyata lebih sakti dari si Singa. Demi melihat kelemahan si Penyu, sang Tokek menyusup masuk ke perkampungan para Penyu dan ia melihat satu kelemahan yang dipakainya untuk menghasut masyarakat rimba. Disogoknya para Tikus dan Cecurut untuk menghembuskan gosip tak sedap mengenai kehidupan sosial sang Penyu. Dengan segera, para Tikus dan Cecurut menghampiri warga rimba dan dengan genitnya mereka pun bergosip ria bahwa sang Penyu memiliki madu, padahal yang berbuat demikian adalah Kerabat sang Penyu yang memiliki istri berjumlah sembilan ekor. Kontan para betina dari jenis hewan manapun menjadi antipati dengan fakta gosip tersebut sehingga dari hari ke hari pamor sang Penyu merosot turun. Bahkan petuah-petuahnya tak lagi didengar oleh para warga rimba.
Oleh karenanya, ketika waktu pemungutan suara tiba, posisi Tokek unggul dua pertiga suara daripada Singa dan Penyu. Memang, masih ada suara untuk Singa dan Penyu dari para simpatisannya, namun mereka lebih percaya dengan fenomena yang mereka lihat sehingga urung memberikan suara dan lebih memilih menjadi golput atau tidak memberikan hak suara mereka, namun hal itu tidak memberi pengaruh berarti karena Tokek menang sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam sistem pemerintahan rimba.
“Hidup Tokek... hidup Tokek...!” Demikian hingar bingar teriakan para simpatisan Tokek setelah usai pemungutan suara.
Maka setelah Singa menyerahkan mahkota kekuasaannya kepada sang Tokek, sang Tokekpun berjanji kepada warga hutan akan mensejahterakan mereka semua tanpa tersisa satu ekorpun, namun sayang seribu sayang, ternyata itu semua hanya janji palsu.
Menjelang satu dekade pemerintahan Tokek, timbul kebijakan baru. Warga hutan diperbolehkan untuk mengkonsumsi buah kecubung. Padahal, pada masa pemerintahan Singa, hal tersebut dilarang. Berdasarkan fatwa dari sang Penyu, kecubung mampu membuat hewan yang memakannya mabuk berat sehingga pernah kejadian segerombolan beruk mengamuk di pasar karena memakan buah kecubung. Peraturan baru tersebut, membuat buah kecubung yang tadinya tabu diedarkan menjadi pemandangan biasa, bahkan di padang rerumputan tempat para Rusa muda bermain-main tak luput dari transaksi buah kecubung. Maka, ketika ada sekelompok Rusa muda secara tak sengaja memakan buah kecubung, mereka menjadi teler, sikap mereka menjadi tak terkendali, sehingga timbul kejadian di mana mereka menyeruduk Kucing hutan yang tengah hamil yang mereka sangka adalah pohon. Tak terima salah satu keluarganya diperlakukan seperti itu, sekawanan Kucing hutan menyerang kawasan para Rusa muda yang sedang asyik merumput. Sayangnya, pak jerapah, sang polisi yang sedang patroli tidak melihat penyebab kejadian tersebut dan menangkap serta mengasingkan seluruh keluarga Kucing hutan yang disangka menjadi penyebab peristiwa pertumpahan darah tersebut. Di atas semua itu, para Burung pemakan bangkai dan para predator berpesta pora karena banyaknya limpahan pangan, imbas dari pertikaian antar warga.
Kejadian tersebut menjadi buah bibir masyarakat banyak. Mereka pun menjadi takut dan tak mengizinkan anak-anaknya untuk bermain jauh-jauh dari rumah mereka. Seluruh warga hutan menjadi paranoid. Sebenarnya, masih ada Penyu yang mampu menenangkan hati warga rimba, namun karena karakternya telah terbunuh oleh gosip-gosip tak bertanggung jawab, tak ayal, satu katapun tak diikuti oleh warga rimba. Pun dengan keluarga Singa yang ketegasannya mampu membuat para warga berhenti mengkonsumsi buah kecubung, namun kini keluarganya terpecah belah. Kewibawaannya luntur akibat ulah anggota keluarganya sendiri. Sangat sedih, dua kandidat yang dulu memiliki pengaruh dan membawa keamanan bagi warga hutan kini tak lagi dianggap contoh bagi warga masyarakat.
Akibat kebijakan para orangtua, para predator menjadi miskin pangan. Mereka pun tak kuat berpatroli lama-lama di perbatasan wilayah mereka dengan wilayah angker, pulau tetangga mereka, tempat mereka mengimport buah kecubung. Melihat para tentaranya tak lagi bertenaga membuat sang Tokek mengeluarkan titahnya. Selang seminggu dari insiden itu, dikeluarkan maklumat yang isinya, setiap satu keluarga harus menyerahkan anaknya sebagai upeti demi keamanan wilayah hutan rimba mereka. Sungguh putusan yang tidak adil. Banyak dari warga yang menangis ketika menyerahkan anaknya yang akan dijadikan bahan makanan para predator. Tak kurang dari satu tahun banyak keluarga yang hampir punah karena ketiadaan generasi di tengah mereka. Hal ini menimbulkan polemik baru. Muncul gerakan kudeta yang diprakarsai sang Macan karena keinginan untuk mengambil alih kekuasaan.
Melihat situasi genting, sang Singa congkak yang merupakan Kerabat Singa penguasa terdahulu mencoba mencari muka dengan menginformasikan hal tersebut ke pihak Tokek. Kontan Tokek marah besar dan memerintahkan para pasukannya untuk menghabisi para pemrakarsa kudeta tersebut. Isu tersebut rupanya terendus pihak tetangga yang melihat wilayah perbatasannya yang sesekali tidak dijaga sehingga timbul niat untuk menguasai surga hijau tersebut.
Sementara sang Tokek mempersiapkan bala tentaranya untuk memerangi warganya sendiri, sekompi gorila lengkap dengan alat perangnya tengah menyusuri pantai yang merupakan perbatasan antara hutan rimba dan pulau angker. Menjelang malam, tatkala purnama muncul, tiba-tiba dari arah tenggara terdengar suara meriam berdetum.
Bum...bum...bum...
Mengira bahwa kudeta telah dimulai, sang Tokek beserta bala tentaranya bergerak menuju perkampungan para predator yang dianggap mampu mengancam kedudukannya sebagai raja. Sementara itu, di perkampungan para predator, karena adanya mata-mata di dalam istana, para Macan, cheetah dan Panther bersiap menghadapi terjangan dari pasukan Tokek. Disatu sisi, sang Singa, mantan raja terdahulu, sudah mengingatkan agar terlebih dahulu menilai situasi karena mendengar ada isu invansi dari pulau tetangga.
Tiba-tiba dari arah pantai, terdengar jeritan membahana dari keluarga Penyu.
“Tolong... tolong... kampung kami diserang!” Semua makhluk yang berdomisili di pantai berlari terbirit-birit ke dalam hutan.
Para gorila telah membakar gubuk-gubuk rumah para Penyu. Sementara sang Penyu meminta bantuan kepada para Singa. Namun ketika telah sampai ke perkampungan Singa, ia melihat adanya pertempuran antara keluarga predator dengan bala tentara Tokek. Suasana kacau balau.
“Stop... stop... hentikan... tidakkah kalian lihat, negeri kita sedang diserang!” Teriaknya.
“Ah... bohong kamu... meriam itu asalnya dari keluarga Macan” Kata serigala, salah satu tentara Tokek.
“Woi... liat dong, emang kita punya senjata canggih macam gitu” Kata sang Macan tak terima
“Dasar tukang fitnah” Tambahnya lagi.
Namun dari arah belakang perkampungan, segerombolan gorila membobol benteng para predator tersebut dan langsung menghunuskan pedang kepada para predator yang tak siap dengan kehadiran mereka. “Bersiaplah kalian!” teriak gorila yang paling besar.
“Wuaaahh.. hentikan...!” Seru Penyu. Sambil mengap-mengap sang Penyu terbangun dari tidurnya. “Hah... hah... hah...” Susulnya. Napasnya naik turun. Dilihatnya langit,sang fajar mulai menyingsing. Lama dia terdiam memikirkan mimpinya itu. Selang beberapa jam, sambil menguatkan dirinya, dia kembali beraktivitas seperti biasa, akan tetapi ada yang berbeda hari itu. Sang Penyu mulai memperbaiki dirinya sembari mengingatkan keluarganya juga untuk memperbaiki diri. Tak lupa sang Penyu mengingatkan sang Singa untuk berlaku adil pada warganya. Menjelang pemilihan raja rimba , sang Penyu tersenyum, serunya dalam hati “Untunglah tidak ada kandidat yang bernama Tokek, he... he... he...
P.S
Jabatan itu adalah ujian. Ia bukanlah hadiah yang bisa dibeli, bukan pula sedekah yang harus dipinta.
Rasulullah SAW telah memperingatkan kita dalam salah satu sabdanya : “Hampir terjadi keadaan yang mana umat-umat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang yang makan mengerumuni makanannya” Salah seorang sahabat berkata : “ Apakah karena sedikitnya kami ketika itu?” Nabi berkata : “Bahkan pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai Ghutsa” (buih kotor yang terbawa air saat banjir). Pasti Alloh akan cabut rasa segan yang ada di dalam dada-dada musuh kalian kemudian Alloh campakkan kepada kalian rasa Wahn”. Kata para sahabat : “Wahai Rasululloh, apakah Wahn itu?” Beliau bersabda : “Cinta dunia dan takut mati”. (HR. Abu Daud, Ahmad)
Selesai
Sumber : annida online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar