Selasa, 10 November 2009

Teletubbies

Tadi temen chatting nanya, "anja lagi ngapain?"
aku jawab, "nonton teletubies"
teman chatting ku bilang, "hati2 bun katanya film teletubbies juga ada pro kontranya gituch!"

o..ow..
aku langsung tanya mbah google, dan ketemu dengan artikel ini..
Buat para orang tua silahkan dibaca..

Seorang Pendeta terkemuka di Amerika menguraikan misi homoseks di balik tayangan lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura melarang penayangannya. Indonesia?

"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.

Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-anak. Television in the tummy of the babies (disingkat Teletubbies, televisi di perut para bocah) adalah film yang menampilkan empat tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang selalu disinari matahari berwajah bayi imut-imut.

Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995 itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka, VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu akrab.

Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali anak-anak pada umumnya, yakni jenis kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya, mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah," alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-Winki-lah, si ungu, yang perempuan.

Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.

Di Barat identitas Teletubbies memang sempat menjadi perdebatan heboh. Bermula dari pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai Teletubbies membawa misi homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky. Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan gay," kata Falwell.

Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet merah merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan secara samar dengan suara dan pilihan warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas homoseksual dan biseksual.

Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun) lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya. "Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus untuk berkomunikasi dengan balita guna memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih kata Falwell.

Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati, ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra, Surabaya.

Hal senada ditulis Berit Kjos di situs Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari, anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan pandangan umum kaum ibu di Inggris yang menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.

Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions dan koleganya, produser film ini. Juru bicara untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice seperti dikutip Associated Press (1999).

Yang paling keras menentang Falwell tentu saja kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS, Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan Michael Colton di harian New York Observer menganggap tuduhan itu sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk) yang bodoh.

Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia suka bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky Winky adalah male (laki-laki).

Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi 'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks menyimpang.

Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim, pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik. Namun efek adegan berpelukan Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu dua anak ini sekarang kerap menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu."

Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian hari memperlakukan dirinya seperti perempuan atau waria," jelas Elzim.

Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik bagi proses pembelajaran kemampuan verbal anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.

Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan 80-an juta poundsterling bagi Ragdoll Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.

Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak, Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan karena dianggapberpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Bagaimana di Indonesia yang mayoritas beragama Islam?

Sumber : http://www.dudung.net/artikel-bebas

2 komentar:

  1. Waduh ada misi tertentu rupanya ya? Secara halus generasi muda kita di arak pada budaya baru... Fuh fuh fuh... Ayo makanya pada pinter anak-anak kita... Biar bisa memilih mana yang bisa diliat dan mana yang engga... Makasih infonya... :)

    BalasHapus
  2. kita sebagai orang tua harus selektif memberikan tontonan kepada anak..

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
Saya seorang ibu rumah tangga. Selain mengurus anak dan rumah tangga, Saya juga owner "Toko Sprei Waterproof Zilah" dan "Rumah sprei jakarta" Hub saya di : Sms/whatsapp/line/telegram 085283386280

Anja Demam

Hari minggu pagi tanggal 8 maret 2009, tubuh anja hangat tapi masih tetap lincah.. sore hari, Anja demam.. langsung aku beri sanmol drop penurun panas.. Alhamdulillah turun.. tapi selang 3-4 jam naik lagi.. sampai hari senin malam tanggal 9 maret 2009 suhu tubuh Anja 39.2.. langsung aja aku bawa ke UGD RS International Bintaro..

Sampai UGD, masih harus menunggu waiting list ada diantrian ketiga.. (zilah dah pengen nangis liat anja demam sambil nyebut, bunda..bunda..bunda..).
Tiba giliran Anja diperiksa, suhu tubuhnya udah 39.5
oleh dokter UGD langsung diberi penurun panas melalui dubur
kemudian ditunggu reaksinya 30 - 60 menit, kalau bisa turun sampai dibawah 38 boleh pulang, tapi kalau ga bisa berarti harus dirawat.
Setelah ditunggu selama 1 jam, bukannya suhunya turun tp malah naik menjadi 39.7
Akhirnya kami putuskan untuk dirawat..

Kemudian diambil sample darah dan anja diinfus (aku pengen nangis ngeliat Anja menjerit waktu dipasang infus dan diambil sample darah).
Alhamdulillah akhirnya sekitar jam 24.00 bisa masuk kamar, dan gak lama kmudian Anja bisa bubuk tenang.. (suhunya berangsur-angsur turun), tapi menjelang subuh sekitar jam 4 Anja kembali demam.. sampai hari kamis tanggal 12 maret 2009 panasnya masih naik turun, walaupun sudah diberi antibiotik dan obat batuk (udah mulai 6 maret 2009 anja batuk tapi). Hasil tes darah hanya menunjukkan ada peningkatan jumlah leukosit berarti terdapat infeksi.

Akhirnya pada saat dokter visit hari kamis tanggal 12 maret2009, Anja diminta tes darah lagi untuk melihat DB sama typus, sekalian foto rontgen.. (deg... koq pake rontgen segala, apakah ga bahaya untuk anak seusia Anja 19 bulan???)
Akhirnya, dengan pasrah anja di rontgen dan kembali diambil sample darahnya. Malam harinya, aku menanyakan hasil tes darah pada perawat dan Alhamdulillah hasilnya negatif semua, baik DB maupun typus. Tapi yang menjadi tanda tanya, kenapa koq demamnya ga mau pergi????
Hari Jum'at
Ternyata, hasil foto rontgen menunjukkan bahwa ada peradangan di paru-paru sehingga banyak lendir di paru-parunya.. (ya Allah, anakku terkena pneumonia)
setelah diketahui radang paru-paru, Alhamdulillah berangsur-angsur panasnya turun dan stabil dibawah 37 , tapi Anja terus menjalani inhalasi dan harus menjalani terapi kalau udah ga demam lagi..
Alhamdulillah, Jum'at malam infus dilepas (berharap hari Sabtu bisa pulang)
suhu tubuh tetap stabil dibawah 37
Hari Sabtu, menanti kedatangan dokter (eh baru datang jam 14.00).. Dan Alhamdulillah udah bisa pulang, tapi dengan catatat harus menjalani fisioterapi sambil rawat jalan. (oke dech dokter, gak apa apa yang penting udah bisa dirawat dirumah)..
Hari ini, Senin 16 maret 2009
Anja pertama kali menjalani terapi, Alhamdulillah Anja ga nangis..

Cepat sembuh ya sayang..
Cepat pulih kembali..
Makan yang banyak..
biar penyakitnya takut..